AktaKelahiran bagi Anak di luar nikah. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUH Perdata juga menyebutkan demikian.
Sedangkandalam Perjanjian Baru, pernikahan mengungkapkan relasi intim antara Kristus dengan Gereja (Ef 5:22; Why 21:2, 9). Katekismus Gereja Katolik menulis bahwa penikahan sebagai sebuah sakramen yang diarahkan menuju persekutuan (no. 1534-35). Hal ini berarti pernikahan diarahkan menuju keselamatan orang lain.
Analisisdata yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data tematik. perceraian atau kelahiran anak diluar nikah (Fatimah & Nurdin, 2015). Orang perceraian, ibu yang tidak menikah dan remaja yang hamil di luar nikah (Aprilia, 2013). Bagi seorang ibu, kehilangan suaminya merupakan tantangan yang amat berat. Hal tersebut
ArtiMimpi Hamil Diluar Nikah. Menurut kepercayaan nenek moyang, arti mimpi hamil padahal belum menikah memiliki arti yang buruk bagi wanita lajang. Topik kita kali ini akan membahas tentang materi arti mimpi hamil. Arti Mimpi Menikah Menurut Islam yang Jarang Diketahui (Rosetta Olson)
Hamildi luar nikah adalah terjadi di luar pernikahan yang sah . menurut agama, sebagaimana hasil wawancara dengan pengurus PIK-R yaitu AM yang Mengungkapkan bahwa: "Menurut saya hamil di luar nikah ini di sebabkan oleh beberapa factor di antaranya faktor yang paling lumrah adalah pergaulan yang tidak terkontrol atau bebas.
Site De Rencontres 100 Pour Cent Gratuit.
saya Irvan. Saya ingin bertanya seputar perkawinan dalam Katolik. Saya memiliki teman yang pacarnya hamil di luar nikah. Setelah dibicarakan perkara ini oleh kedua belah pihak, keluarga memutuskun untuk menikahkan mereka karena memang keduanya ada rasa sama suka. Ada kendala di mana mereka berbeda agama, yang pria beragama Katolik dan pacarnya beragama Islam. Tetapi si wanita bersedia mengikuti keyakinan teman saya. Dengan kata lain ingin masuk agama Katolik dan keluarga juga setuju. Masalahnya, karena berbeda keyakinan dan hamil di luar nikah mereka bingung bagaimana cara mengurus terkait regulasi dan tahapan untuk menikah. Pertanyaan saya Bagaimana Gereja Katolik menyikapi kehamilan di luar nikah? Ketika ingin menikah, jika salah satu pihak bukan Katolik bagaimana? Apakah bisa langsung menikah menggunakan prosesi perkawinan campur, atau si wanita harus masuk Katolik dulu baru menikah? Romo Postinus Gulö, OSC Hallo Irvan. Terima kasih pertanyaan Anda. Dari kisah Anda ini, ada tiga “kunci kasus” a hamil di luar nikah; b memutuskan akan nikah; dan c nikah beda agama. Pertama, hamil di luar nikah. Bagaimana tanggapan Gereja? Tentu, melakukan persetubuhan di luar perkawinan yang sah merupakan dosa; tindakan yang bertentangan dengan moral. Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae EV, arti. 23 menyesali pudarnya rasa hormat terhadap sakralitas seksualitas. Menurutnya, dewasa ini ada banyak orang yang melakukan hubungan seksual dengan semaunya, bertentangan dengan moral Kristiani dan semata-mata untuk memuaskan keinginan-keinginan serta naluri-naluri pribadi; bahkan hanya didorong oleh cinta diri. Anak-anak muda jangan pernah jatuh dalam seks pra-nikah. Jangan asal menuruti dorongan nafsu bdk. 1 Petrus 114-16; 2 Tim 222. Lebih banyak akibat negatifnya daripada positifnya. Ditanggung seumur hidup pula! Hanya saja begini kalau kita berhadapan dengan teman-teman kita yang mengalami permasalahan semacam ini, kita berusaha menguatkan mereka. Perasaan mereka tentu campur aduk. Ada yang malu. Ada yang bingung harus bagaimana. Kita dukung mereka untuk tidak menggugurkan bayi dalam kandungan. Jangan dosa ditutup dengan dosa lain. Jangan kesalahan ditutup dengan kesalahan lain. Hamil di luar nikah itu merupakan perbuatan yang salah. Maka, jangan ditutup lagi dengan perbuatan salah lain, seperti aborsi! Kedua, memutuskan akan menikah. Dalam kisah ini, mereka menikah karena ada rasa suka sama suka. Apakah ini benar? Apakah bukan karena sudah hamil? Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1101 §1 ditegaskan agar apa yang ada di dalam batin, sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam kata-kata. Jangan sampai menyatakan “mau menikah”, tetapi dalam hati tidak demikian. Ini pura-pura menikah; dan jika tidak mau menikah’, maka ia melakukan “simulatio totalis” atau menolak perkawinan itu sendiri atau pura-pura menikah bdk. Kanon 1101§2. Jika seseorang sebenarnya “menolak menikah”, namun karena sudah hamil di luar nikah, dia pura-pura menikah agar ada status bayinya, akibatnya fatal perkawinan itu tidak sah! Baik jika mereka berdua berkonsultasi kepada Romo Paroki. Sebab, Romo Paroki akan membantu keduanya untuk menyelidiki apakah keduanya memiliki motivasi yang benar, sungguh-sungguh dan penuh untuk menikah. Akan tetapi, saya usul begini jika salah satu atau keduanya belum siap menikah, lebih baik jangan buru-buru menikah. Perlu waktu kesiapan dan kemantapan komitmen menikah. Kalau memilih usul ini, berarti bayi ditunggu sampai dilahirkan, lalu dijaga dengan baik dan penuh cinta. Namun, jika ada keduanya sudah siap dan mantap menikah, maka baik jika segera menghubungi Romo Paroki agar calon istri ini bersama calon suaminya didampingi dengan sungguh-sungguh dan dalam waktu yang memadai. Ketiga, nikah beda agama. Dalam kisah ini, laki-laki beragama Katolik. Sementara perempuan beragama Islam non-baptis. Jika mereka menikah, maka mereka akan menikah beda agama. Ada rencana bahwa perempuan ini mau mengikuti agama calon suaminya. Kita tahu bahwa orang dewasa yang mau dibaptis Katolik wajib MENGIKUTI MASA KATEKUMENAT masa pembelajaran selama satu tahun. Apakah dia sempat dibaptis sebelum menikah? Saya usul begini jika perempuan ini mau menjadi Katolik, maka ia ikut Katekumenat dulu. Di sela-sela ikut Katekumenat itu, dia juga mempersiapkan diri untuk menikah. Tentu, dalam ajaran Katolik, “perbedaan agama” merupakan “halangan perkawinan yang sah” Kanon 1086. Maka, agar dapat menikah dengan sah, keduanya mesti mendapatkan “dispensasi” dari salah seorang otoritas Gereja ini, yakni dari uskup atau Romo Vikaris Jenderal atau Romo Vikaris Episkopal teritorial. Namun, dispensasi atas nikah beda agama, tidaklah sembarangan diberikan. Ada syaratnya, sesuai Kanon 1125, yakni pihak Katolik harus menyatakan janji di hadapan Allah melalui kehadiran Romo dan umat yang berhimpun. Janji-janji itu, yakni pertama, pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhi bahaya meninggalkan iman Katolik. Kedua, berjanji dengan jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga untuk membaptiskan anak-anak yang akan lahir secara Katolik. Ketiga, ia berjanji dengan sekuat tenaga bahwa akan mendidik semua anak dalam Gereja Katolik. Dalam kanon 1125 itu pula ditegaskan bahwa janji-janji pihak Katolik hendaknya diberitahukan kepada pihak yang bukan Katolik. Mengapa? Alasannya sederhana agar sebelum menikah, keduanya sudah menyepakati janji-janji pihak Katolik ini. Setelah menikah, mereka berdua tidak ribut lagi soal pembaptisan dan pendidikan anak dalam Gereja Katolik. Umumnya, jika non-baptis ini sudah menjadi katekumen calon baptis Katolik, maka ia pasti mendukung janji pihak Katolik ini. Tidak ada masalah, toh dia akan menjadi Katolik. Selain itu, calon pasutri ini diajari mengenai tujuan perkawinan dan ciri-ciri hakiki esensial perkawinan yang tidak boleh dikecualikan oleh calon pasangan. Calon pasutri ini bisa didampingi secara personal oleh Romo karena calon istri sudah hamil, atau bisa juga melalui kursus persiapan perkawinan. Demikian jawaban saya atas pertanyaan ini. Semoga dapat membantu. Tuhan memberkati. Bandung, 22 April 2023 Romo Postinus Gulö, OSC Anda punya pertanyaan untuk Romo? Kirimkan pertanyaan Anda melalui email redaksi Pernah studi Hukum Gereja di Universitas Kepausan Gregoriana, Roma. Saat ini menjadi Formator Skolastikat OSC di Bandung dan anggota Tribunal Keuskupan Bandung.
PERNIKAHAN HAMIL DI LUAR NIKAH DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM KHI DAN FIQIH ISLAM DI KANTOR URUSAN AGAMA STUDI KASUS DI KOTA KUPANGAbstraksiPerkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi sangat penting. Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Realitas kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil diluar nikah. Hamil diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di dalam penelitian ini adalah 1 Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?; 2 Bagaimana status hukumpernikahanwanitahamilakibatzinadenganlaki-laki yang menghamilinyamenurutKompilasi Hukum Islam KHIdanfiqih Islam?.Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1 Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali yang mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai dia melahirkan kandungannya. Perbedaan tersebut terjadi karena di pengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis yang digunakan dalam menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan pernikahan hamil di luar nikah berdasarkan dalil Al-Qur'an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal; 2 KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang 0 kaliDiunduh 0 kali
BerandaKlinikKeluargaBagaimana Hukumnya M...KeluargaBagaimana Hukumnya M...KeluargaSabtu, 18 Juni 2011Saya memiliki seorang pacar dan saat ini hamil. Namun, karena orang tua pacar saya tersebut tidak setuju akan hubungan kami, maka pacar saya tersebut dinikahkan dengan orang lain dan pernikahan tersebut dilakukan secara Islam. Bagaimana cara saya agar tetap dapat mendapatkan anak saya tersebut? Bagaimana jalan yang harus saya tempuh mengingat janin yang dikandungnya tersebut adalah benar-benar anak saya, upaya apa yang harus saya lakukan? Terima dasarnya anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya lihat Pasal 43 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UUP”. Hal yang sama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam “KHI” bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya lihat Pasal 186 KHI.Menurut hukum, seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya lihat Pasal 53 ayat [1] KHI. Perkawinan wanita yang hamil di luar nikah dengan pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya lihat Pasal 53 ayat [2] KHI. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir lihat Pasal 53 ayat [3] KHI.Di sisi lain, KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat 1 KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal tersebut bersifat kebolehan menggunakan frasa “dapat” dan bukan keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat 2 KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan dengan keinginan Anda untuk mengakui anak tersebut, berikut ini pendapat kami1. Anak tersebut dapat diklaim sebagai anak Anda apabila suami dari mantan pacar Anda memang menolak untuk mengakui anak tersebut. 2. Pada dasarnya, anak yang lahir dalam perkawinan, akan sulit diakui, yang bisa Anda lakukan adalah memohonkan kepada pengadilan untuk menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak biologis Anda. Hal ini tentunya memerlukan mekanisme pembuktian secara medis yaitu dengan tes deoxyribonucleic acid DNA.Demikian jawaban dari kami, semoga dapat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan2. Kompilasi Hukum Islam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline. Tags
Abstract Perkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah sehingga menjadi sangat penting. Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta rohaninya pasti membutuhkan teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Realitas kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari adanya hamil diluar nikah. Hamil diluar nikah adalah tindakan yang pada dasarnya sangat tidak dianjurkan oleh agama, karena agama mengajarkan manusia pada kebajikan, namun demikian praktek ini masih banyak kita jumpai di dalam penelitian ini adalah 1 Mengapa terjadi perbedaan mengenai pernikahan hamil di luar nikah antara Kompilasi Hukum Islam KHI dan Hukum Islam HI?; 2 Bagaimana status hukumpernikahanwanitahamilakibatzinadenganlaki-laki yang menghamilinyamenurutKompilasi Hukum Islam KHIdanfiqih Islam?.Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1 Menurut KHI bahwa wanita yang hamil di luar nikah bisa langsung di nikahkan dengan laki-laki yang menghamilinya tanpa menunggu wanita itu melahirkan kandugannya. Sedangkan berdasarkan hukum Islam dalam hal ini pendapat Imam Malik dan Ahmad bin Hambali yang mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki sampai dia melahirkan kandungannya. Perbedaan tersebut terjadi karena di pengaruhi oleh perbedaan dalil-dalil Al-Qur'an dan Hadis yang digunakan dalam menafsirkan permasalahan pernikahan hamil di luar nikah. KHI menjelaskan pernikahan hamil di luar nikah berdasarkan dalil Al-Qur'an surat An-nur ayat 3, Mazhab Syafi'i dan Hanafi, pendapat Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas. Sedangkan Hukum Islam menggunakan dalil Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 11, 12, dan 176, surat At-Talaq ayat 4, Mazhab Maliki dan Ahmad bin Hambal; 2 KHI membolehkan menikahi wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya, menurut hukum Islam status hukum pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya pun terjadi perbedaan pendapat diantara ke empat mazhab. Mazhab Hanafi dan Syafi'i membolehkan pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya. Mazhab Maliki dan Hanbali melarang pernikahan wanita hamil akibat zina dengan laki-laki yang menghamilinya.
hamil diluar nikah menurut katolik